Rabu, 01 Juni 2011

PLN Tidak Mau Lagi Jadi Ban Belakang (Bagian 1)

Sekitar 5.000 manajer marketing memenuhi hall mewah terbesar di Jakarta itu. Mereka datang dari berbagai perusahaan dan berbagai kota. Inilah puncak pesta tahunan masyarakat marketing Indonesia yang paling bergengsi. Tepuk tangan bergemuruh ketika penobatan siapa saja yang tahun 2010 ini paling layak mendapat gelar sebagai “Tokoh Marketing Tahun Ini” (Marketer of the Year Indonesia 2010).

Enam orang CEO dari enam sektor usaha dipanggil ke atas pentas yang megah. Merekalah tokoh marketing tahun ini di masing-masing bidang usaha. Nama saya, CEO PLN, dipanggil di urutan kelima, sebagai Tokoh Marketing Tahun Ini bidang usaha pertambangan/energi. Yang dipanggil pertama adalah CEO BNI, Gatot Suwondo (Financial Services), CEO Toyota Astra, Johnny Darmawan (Otomotif, Transportasi, Logistic), CEO Kopi Kapal Api Soedomo (Consumer),  CEO Nexian Martono J Kusumo (Komunikasi, IT dan Media) dan terakhir Walikota Solo, Joko Widodo (Government).

Ketika berada di atas panggung bersama lima CEO Nasional itu saya tentu terlihat yang paling santai: pakai hem biasa dan sepatu kets. Saya memang tidak mengharapkan apa-apa ketika datang ke acara itu. Penghargaan seperti ini, menurut saya terlalu awal diberikan kepada PLN.

Setelah masing-masing menerima piagam dan piala, suasana justru menjadi hening dan tegang. Terutama ketika Chairul Tanjung, CEO Trans Corp yang tahun lalu menjadi Marketer of The Year Indonesia, tampil ke depan mikrofon. Sebagai ketua dewan juri, Chairul Tanjung akan mengumumkan siapa di antara enam CEO penerima penghargaan tersebut yang akan terpilih sebagai Marketer of the Year Indonesia 2010.

Saya nothing to lose. Tidak pernah dalam hati kecil saya berbuat sesuatu untuk mendapatkan penghargaan seperti itu. Apalagi prestasi PLN adalah prestasi seluruh karyawannya di seluruh Indonesia. Siapa pun di antara kami berenam yang akan terpilih, silahkan saja. Saya justru berpikir tidak baik kalau PLN menerima penghargaan itu. Terlalu dini. Beban masih sangat besar.

Tepuk tangan bergemuruh ketika juaranya juara diumumkan. Dan itu adalah CEO PLN. Beberapa karyawan PLN yang hadir di situ melonjak. Direktur PLN Vickner Sinaga tidak ikut melonjak. Dia mengaku tertegun di kursinya sambil menitikkan air mata. “Kerja keras kita mulai diakui masyarakat,” gumamnya. GM Disjaya, Pak Willy yang membawa beberapa anak buahnya besorak. Sudah lama tim PLN Jakarta hanya jadi pecundang. Kini mulai merangsek ke tengah bahkan ke atas panggung. Pak Suaedi, dari PLN Pusat, merasa merinding. Tanpa sadar dia berucap kepada diri sendiri: “Dalam acara-acara besar seperti ini peran orang PLN biasanya hanya dimarah-marahi, disuruh jaga genset cadangan dan ditempatkan di bawah pohon di pojok  halaman belakang. Tidak lebih dari itu. Hari ini PLN naik ke atas panggung!”.

Tentu saya diminta menyampaikan acceptance speech. Di atas panggung  yang megah dan bergemuruh itulah saya sampaikan bahwa PLN tidak mau lagi menjadi ban belakang!
Mengapa ban belakang itu cepat gundul?
Karena tidak pernah berhasil mengejar ban depan!

Sudah pernah saya sampaikan di CEO Note yang lalu, bahwa PLN ini selalu ketinggalan dari masyarakatnya. Terutama masyarakat ekonomi. Akibatnya PLN dalam posisi terus menerus mengejar meningkatnya beban puncak. Itu pun tidak pernah terkejar! Sampai PLN gundul!

Posisi yang terus-menerus mengejar inilah yang kini sedang kita ubah. Agar kita tidak terus-menerus termehek-mehek.

PLN belum menjadi ban depan sekarang ini. Tapi sudah menjadi sampul depan majalah Marketeers. Majalah itu juga memuat wawancara dengan saya yang cukup panjang. Agar wawancara ini juga menjadi sikap bersama, berikut ini saya kutipkan hasil wawancara dari majalah yang bisa dibeli di toko-toko majalah itu:

Anda begitu sering berkunjung ke daerah. Sudah berapa banyak daerah yang Anda kunjungi?
Menjelang satu tahun masa jabatan saya sebagai Dirut PLN ini, semua propinsi sudah saya kunjungi, kecuali satu: Bengkulu. Ini akan saya kunjungi minggu depan. Dengan demikian sebelum satu tahun sudah tidak ada wilayah yang belum saya kunjungi. Minggu lalu saya marathon ke Halmahera, Morotai, Ternate, Tidore, Ambon dan Poso hanya dalam dua malam. Bagi saya ini tidak berat karena wiayah-wilayah itu juga sudah banyak yang saya kunjungi. Yakni ketika saya mendirikan koran-koran di hampir seluruh pelosok Indonesia.

Bagaimana gambaran keadaan listrik di daerah-daerah itu?
Seluruh pelosok tanah air itu persoalannya sama: krisis listrik. Di banyak daerah krisisnya sungguh luar biasa. Di Aceh dari keperluan 60 MW hanya tersedia kurang dari seperempatnya. Di Medan rakyat sudah sangat marah. Di Tanjungpinang sampai-sampai kepala cabang PLN setempat dijemur oleh masyarakat. Mereka mengira kalau kepala cabangnya dijemur akan mengeluarkan listrik ha ha. Di Palu hampir tidak ada harapan persoalan listrik bisa dipecahkan. Di Ambon sama saja. Di Lombok krisisnya seperti pasien makan obat: mati lampu sehari dua kali setiap hari.

Pelajaran apa yang bisa didapat di daerah-daerah itu?
Saya rasa benar pendapat bahwa terjadi ketidak adilan dalam pembangunan di negara ini. Bahkan masih ada beberapa ibukota kabupaten listrik hanya menyala enam jam dalam sehari. Umumnya itu memang kabupaten pemekaran yang status dulunya hanya kecamatan. Misalnya Maluku Barat Daya, dan Buru Selatan. Kurang lebih ada 8 ibukota kabupaten yang listriknya belum 24 jam sehari. Bahkan di Jayapura masih ada 11 kabupaten yang belum ada listriknya. Untuk ibukota kabupaten yang baru menyala 6 jam sehari, sebagian kami selesaikan sebagai hadiah tahun baru 2011. Sebagian lagi baru akan bisa diselesaikan bulan April nanti. Sedang 11 kabupaten yang belum ada listriknya sama sekali, malam menjelang Natal nanti sudah akan ada listrik menyala di sana, meski sangat terbatas dulu. Ternyata saya terlalu jauh melhatnya. Di Pulau Bawean, Jatim, sendiri listriknya belum 24 jam. Padahal ini kota “internasional” karena penduduknya selalu wora-wiri ke Singapura. Mulai malam tahun baru nanti, Bawean akan 24 jam.

Apakah ditemukan contoh menarik yang bisa jadi inspirasi di suatu daerah?
Ada, banyak. Di Wamena akal sehat sungguh tidak jalan. Di sana ada sumber listrik tenaga air yang gratis, tapi PLN menyediakan listrik diesel yang harus mendatangkan BBM. Bisa dibayangkan bagaimana harus setiap hari mengangkut BBM yang sangat banyak dengan pesawat. Maka saya tekadkan bahwa mulai Januari 2011, dengan gerak cepat sekali, sudah harus dibangun pembangkit listrik tenaga air di Wamena. Wamena harus bebas dari diesel 100%. Diesel akan kami haramkan masuk Wamena. Demikian juga di Banjarmasin. Daerah penghasil batubara yang luar biasa itu PLN justru punya diesel dengan kapasitas lebih 100 MW! Padahal membangkitkan listrik dengan diesel, di Banjarmasin, harganya empat kali lipat. Beberapa hal yang tidak masuk akal sehat seperti ini akan kami luruskan. Akal sehat harus ditegakkan. Akal sehat jangan dibunuh!

Orang tahu PLN tidak punya uang. Tapi Anda membuat program begitu banyak dengan tenggat waktu begitu pendek. Seperti program bebas pemadaman bergilir yang harus berhasil dalam waktu enam bulan. Apakah ini tidak mencerminkan asal dari Surabaya yang lebih menggandalkan bondho nekad (bonek)?
Memang sebagai orang luar semula saya mengira orang-orang PLN itu sudah 100% bobrok semua. Tapi setelah saya masuk ke PLN saya ternyata menemukan banyak sekali orang PLN yang menginginkan PLN itu maju. Golongan yang ingin maju ini ternyata menempati posisi mayoritas. Hanya saja selama ini mereka tidak mampu mengaktualisasikan diri mereka. Saya juga menemukan kenyataan bahwa orang-orang PLN itu cerdas-cerdas, pinter-pinter dan mengetahui semua persoalan yang menyebabkan PLN tidak maju. Kenyataan inilah yang membuat saya percaya diri untuk menetapkan program-program besar dengan waktu yang pendek. Saya yakin mereka akan mampu asal diberi kepercayaan. Dan ternyata mampu. Saya bangga sekali pada teman-teman di PLN. Kalau di Jawa Pos dulu banyak program besar bisa dilakukan dalam waktu pendek tapi prosesnya agak ngawur. Di PLN, program-program itu bisa berjalan dengan proses yang lebih sistematis. PLN itu punya hampir 20 doktor dan 600 master. Umumnya berlatar belakang teknologi sehingga cara berpikirnya amat logis dan analitis.

Tapi dari mana dapat uangnya?
Ha ha….ini memang pertanyaan banyak orang. Dari mana tiba-tiba punya uang? Terus terang beberapa uang PLN yang dulunya dipakai bridging proyek-proyek besar kami tarik cepat. Direktur keuangan PLN kini amat rajin menginventarisasikan di mana saja uang PLN terpakai. Lalu ada satu proyek besar yang kami tunda karena saya lihat sama sekali tidak urgent. Proyek ini akan memakan uang PLN hampir 1,5 triliun. Satu proyek besar lagi saya mundurkan karena juga tidak mendesak. Ini bisa melonggarkan cashflow tahun ini Rp 1,2 triliun. Lebih baik uang itu untuk mengatasi krisis listrik, memperbaiki layanan masyarakat. Proyek yang memerlukan dana PLN Rp 1,5 triliun itu bagian lokal dari nilai proyeknya yang Rp 15 triliun yang akan didanai dari pinjaman asing. Proyek ini ada di Jawa dan untuk menambah listrik di Jawa. Padahal kalau manajemennya baik, listrik di Jawa sampai tahun 2015 sudah cukup tersedia. Proyek ini sebenarnya sudah ditenderkan dan pemenangnya sudah ada. Tapi saya batalkan. Saya tidak peduli. Saya lebih memikirkan masyarakat luar Jawa yang sudah puluhan tahun berteriak kekurangan listrik. Pemenang proyek dari luar negeri itu terus merayu saya untuk meneruskan proyek ini. Saya bergeming. Sebagian dana lagi untuk membeli trafo. Baik trafo Interbus Transformer (IBT) maupun trafo distribusi. Dengan trafo IBT listrik Jakarta akan lebih aman. Untuk apa punya proyek itu kalau tidak punya trafo. Trafo-trafo IBT itu sekarang sudah berdatangan. Saya lega. Jakarta aman. Kalau trafo itu tidak dibeli dan terjadi ledakan seperti di Cawang tahun lalu, Jakarta akan padam selama delapan bulan. Lalu kami membeli 8.000 trafo distribusi untuk Jawa. Kalau dulu listrik mati di Jakarta atau di Jawa akibat trafo rusak dan tidak ada gantinya, kini tidak begitu lagi. Kepala-kepala cabang PLN seluruh Jawa sudah kami beritahu: berapa pun anda minta trafo akan kami beri. Tidak terbatas. Asal lampu jangan mati-mati. Kalau dulu banyak kepala cabang yang marah-marah mengapa PLN tidak bisa menyediakan trafo, kini kami yang marah-marah kepada kepala cabang mengapa tidak mengambil jatah trafonya?

Apa target pelayanan itu?
Target kami tidak muluk-muluk. Pelayanan menjadi baik. Masak kalah dengan Malaysia. Kami tidak membuat target agar menjadi kelas dunia. Target kami sederhana: kalahkan Malaysia! Dalam waktu dekat! Begitu sederhananya target itu sehingga pimpinan PLN Jatim merumuskannya dengan bahasa Jawa Timuran begini: Listrik ojo byar-pet, yen pet, cepet! Listrik jangan mati-mati. Kalau pun suatu saat mati, agar cepet hidup lagi. Listrik memang tidak mungkin tidak mati. Masyarakat tahu itu. Yang penting jangan sering-sering mati. Kalau mati harus cepat hidup lagi. Sebelum ikan di dalam kulkas busuk, atau sebelum ikan koi di dalam kolam mati! Di Jawa, ini harus sudah terjadi mulai 1 Januari depan ini.

Apakah itu bisa dicapai?
Saya sangat yakin bisa. Teman-teman di Jawa kini sedang sangat bergairah melakukannya. Antusiasme mewabah ke mana-mana. Kami memang punya doktrin bahwa hidup tanpa antusias lebih baik mati saja. Berbagai cara mereka temukan. Ada yang menemukan cara memonitor trafo dengan kamera. Ada yang menemukan bahwa paralon ternyata bisa dipakai untuk membungkus kabel yang berdekatan dengan pohon-pohon. Ada yang memanfaatkan ahli petir satu-satunya di Indonesia untuk memetakan di kawasan mana petir yang paling banyak dan yang paling mematikan. Khususnya mematikan listrik. Ada ribuan kiat dan cara yang ditemukan para pelaksana di lapangan. Kami memberikan kebebasan untuk langsung menerapkannya. Tidak perlu minta persetujuan, pengesahan apalagi petunjuk. Just do it! Beberapa penemuan kiat yang istimewa kami beri penghargaan dan kami ajak ikut rapat direksi. Mulai Januari nanti, tiap minggu lima kepala cabang akan ikut rapat direksi. Yakni kepala cabang yang daerahnya sudah berhasil mengalahkan Malaysia.

Tapi Pak Dahlan sempat menangis di DPR, apa maksudnya?
Waktu itu saya benar-benar tidak tahan menghadapi dilema ini: tunduk pada prosedur yang bisa menyengsarakan rakyat Palu dan Mataram, atau menabrak prosedur tapi krisis listrik di dua daerah itu segera teratasi. Saya putuskan saya tabrak prosedur. Kalau harus masuk penjara akan saya jalani. Yang saya tabrak adalah prosedur. Bukan memakan uangnya. Sejak itu teman-teman di PLN memperbaiki prosedur-prosedur yang selama ini rumit. Kini kami menyederhanakan prosedur-prosedur itu.

Pihak eksternal PLN kan belum tentu mendukung apa yang Anda kerjakan. Tapi Anda tidak pernah teriak-teriak di luar. Mengapa? 
Saya bukan orang yang cengeng. Misalnya pernah kami menghadapi kesulitan batubara. Ini tidak masuk akal. Ini juga pembunuhan akal sehat. Bagaimana Negara begini kaya batubara PLN sulit dapat batubara. Batubara bisa menerangi Hongkong mengapa tidak bisa menerangi negeri sendiri. Maka saya langsung saja minta direksi untuk melakukan impor batubara. Biar sekalian lucu. Akhirnya kita dapat batubara tanpa harus impor. Demikian juga ketika kami sangat memerlukan gas. Kami sudah kemukakan setiap kami mendapat tambahan 100 mmcfd gas, PLN akan lebih hemat Rp 6 triliun setahun. Bukan kami mendapat tambahan gas, malah gas kami dikurangi. OK. Kami tahu memang tidak akan ada gas. Kami tidak akan merengek-rengek. Tidak akan cengeng. Kami akan tempuh jalan lain. Misalnya gas untuk PLTG-PLTG Tambaklorok Semarang itu. Mestinya kita dapat gas dari lapangan Kepodang milik Petronas di lepas pantai Semarang. Ini akan menghemat sekitar Rp 1 triliun setahun. Petronas sudah setuju menjual gas ke PLN. PLN sudah setuju membelinya. Harganya juga sudah disepakati. Tapi ternyata transaksi ini tidak bisa terjadi. Terkendala dengan persoalan yang sangat sepele yang di luar jangakauan PLN: siapa yang memasang pipanya. Sampai sekarang persoalan ini belum selesai. OK. Kami tiak cengeng. Kini PLTG-PLTG Tambaklorok yang amat mahal dan menguras uang rakyat itu akan kami matikan saja. Listrik untuk Semarang kami pasok dari PLTU Rembang. Karena itu PLTU Rembang yang hampir jadi akan kami masukkan ke Semarang melalui sistem 150 kV. Tidak perlu lewat sistem 500 kV trans Jawa. Kekurangan sedikit untuk Semarang akan kami tambah dari memasang trafo IBT baru di Ungaran. Maka PLTG-PLTG di Tambaklorok itu hanya akan jadi back up pasif saja. Soal kalau suatu saat nanti pemerintah sudah memutuskan siapa yang akan membangun pipa gas ke Semarang, kami tidak bisa ditekan lagi harganya. Kami sudah bisa jual mahal.

0 komentar:

Posting Komentar