Rabu, 01 Juni 2011

SINERGISASI PERANGKAT KETENAGALISTRIKAN DAN MASYARAKAT UNTUK MEMAJUKAN PEREKONOMIAN BANGSA

SINERGISASI PERANGKAT KETENAGALISTRIKAN DAN MASYARAKAT UNTUK MEMAJUKAN PEREKONOMIAN BANGSA

Oleh : (Fazar M.C, Robin S, Fela R.W)

Menjaga ketersediaan pasokan listrik itu tidak mudah, banyak faktor yang berperan. Salah satu faktor yang penting adalah dari segi ekonomi. Fakta saat ini memperlihatkan terjadi defisit antara Biaya Pokok Produksi (BPP) dengan harga jual rata-rata listrik. Defisit ini memerlukan kompensasi dalam bentuk subsidi listrik untuk meringankan beban masyarakat. Subsidi listrik tersebut dimasukkan dalam Anggaran Pendapatan dan Perbelanjaan Negara. Keputusan DPR tentang penetapan subsidi listrik tahun 2010 yang hanya sebesar Rp. 37,8 triliun harus disikapi secara bijak oleh semua kalangan, baik PLN dan pemerintah sebagai perangkat ketenagalistrikan maupun masyarakat sebagai konsumen listrik. Rencana PLN untuk menerapkan tarif listrik yang berbeda untuk beberapa golongan tarif sebagai salah satu upaya dalam pengurangan subsidi listrik harus didukung.

Masyarakat Indonesia perlu mengetahui bagaimana kondisi dan permasalahan ketenagalistrikan Indonesia saat ini, dan mengerti berbagai alasan yang menyebabkan diperlukannya subsidi listrik untuk tetap menjaga ketersediaan pasokan listrik di Indonesia. Kemudian perlu adanya solusi – solusi atas semua permasalahan yang ada untuk baik jangka pendek maupun jangka panjang. Untuk itu karya tulis ini akan memuat informasi mengenai kondisi dan permasalahan ketenagalistrik di Indonesia kemudian akan memaparkan beberapa solusi agar ketersediaan pasokan listrik tetap terjaga di masa kini dan masa mendatang.

Fakta dan data Ketenagalistrikan Indonesia
Saat ini menurut laporan Departemen Energi dan Sumber Daya Mineral, kapasitas pembangkit listrik saat ini adalah sebesar 33.352 MW. Kapasitas tersebut berasal dari pembangkit PLN sebesar 28.041 MW atau 84,06% dari total kapasitas terpasang, pembangkit swasta (IPP) sebesar 4.244 MW atau 12.72%, dan pembangkit terintegrasi (PPU) sebesar 1.066 MW atau 3,22%. Kapasitas ini harus terus mengalami peningkatan seiring makin meningkatnya pertumbuhan penduduk. Peningkatan kapasitas ini bisa dilihat dari grafik 1 berikut ini :




Dari grafik di atas terlihat bahwa terjadi peningkatan tenaga listrik yang signifikan setiap tahunnya. Pada tahun 1966 kapasitas listrik hanya 500 MW, dalam waktu lima tahun meningkat menjadi 1000 MW dan saat ini kapasitas listrik sudah mencapai 33.000-an MW. Jika ekonomi kita terus bertumbuh dengan cepat dan diiringi dengan peningkatan industri dan penyediaan rumah tinggal, tentu lima tahun ke depan kapasitas listrik yang harus kita miliki setidaknya harus sebesar dua kali lipat dari sekarang, yaitu mencapai 60.000 MW. Beberapa antisipasi telah dilakukan pemerintah, dalam hal ini PLN, salah satunya dengan program pengadaan 10.000 MW yang dibangun di 35 lokasi tersebar di Jawa dan luar Jawa. Langkah lainnya adalah dengan menggalakkan program efisiensi untuk mengurangi losses, yang merupakan kerugian non teknis yang paling utama, yang saat ini mencapai 10%-an.

Penggunaan energi primer pembangkit saat ini masih dikuasai oleh sumber – sumber daya alam tak terbaharukan, seperti batubara dan gas. Sedangkan bahan bakar yang bersumber dari sumber daya alam terbaharukan masih relatif sangat kecil.



Grafik 2 di atas memperlihatkan bahwa terdapat ketergantungan yang sangat tinggi terhadap bahan bakar batu bara, di mana batu bara menyumbang 48,8% dari total kapasitas pembangkit yang ada saat ini. Hal ini disebabkan karena batu bara merupakan sumber energi yang relatif murah dan juga didukung oleh melimpah ruahnya sumber daya batu bara di Indonesia.

Rasio elektrifikasi
Rasio elektrifikasi adalah ukuran tingkat ketersediaan listrik di suatu daerah. Persebaran rasio elektrifikasi bisa dilihat di gambar 1. Secara rata-rata rasio elektrifikasi Indonesia adalah 66,3% pada pertengahan tahun 2009 ini.
Gambar 1. Rasio Elektrifikasi per Provinsi

Rasio elektrifikasi terus mengalami peningkatan dari tahun ke tahun. Adapun sasaran kelistrikan Indonesia adalah tercapainya rasio elektrifikasi sebesar 67,2% pada tahun 2010 dan PLN mempunyai misi 75-100, yaitu saat memperingati ulang tahun yang ke 75, yang jatuh pada tahun 2020, rasio elektrifikasi di Indonesia sudah mencapai 100%. Peningkatan rasio elektrifikasi tersebut mencakup peningkatan sambungan baru pelanggan PT. PLN (Persero) dan pemanfaatan energi terbaharukan setempat seperti PLTMH, PLTB, PLTS Terpusat dan PLTS Tersebar yang khusus diperuntukkan bagi daerah-daerah terpencil serta peningkatan kualitas dan efisiensi penyediaan energi listrik, dengan memanfaatkan pesatnya kemajuan perkembangan teknologi kelistrikan saat ini. Peningkatan daya yang dapat disediakan dengan percepatan proyek 10.000 MW juga menjadi solusi yang dilakukan oleh PLN di sekitar 35 lokasi di Indonesia.


Harga Penjualan vs Harga Produksi
Pola ketenagalistrikan di Indonesia saat ini menggunakan sistem bundling dimana dari pembangkitan sampai distribusi listrik dipegang oleh satu pemain,  yaitu PLN. Sebagai suatu Badan Usaha, PLN mempunyai perhitungan biaya produksi penyediaan (BPP) listrik yang untuk setiap kWh yang dibangkitkan. Berdasarkan atas fungsi, biaya dapat dibedakan atas pembangkitan, transmisi dan distribusi, sedangkan berdasarkan sifatnya biaya dapat dibedakan atas biaya tetap (fixed cost) dan biaya variabel (variable cost). Adapun biaya berdasarkan area dapat dibedakan atas biaya pengadaan Listrik untuk daerah Jawa dan biaya pengadaan listrik untuk daerah Sumatera dan lain-lain. Sebagaimana biaya pada sektor-sektor lain, biaya pengadaan listrik juga dapat mengalami perubahan yang disebabkan oleh permintaan (demand) yaitu perubahan biaya yang disebabkan oleh perubahan permintaan per KWh, misalnya biaya tetap (fixed) operasional dan pemeliharaan, pembayaran tetap (fixed payment) ke IPP, dan depresiasi. Selain disebabkan oleh permintaan, perubahan biaya juga dapat disebabkan oleh perubahan KwH energi yang diproduksi, misalnya biaya untuk bahan bakar (fuel), biaya variabel operasional dan pemeliharaan, variabel pembayaran ke IPP.  Sesuai Permen. ESDM No. 269-12/26/600.3/2008) Biaya Pokok Penyediaan Tenaga Listrik PT. PLN Tahun 2008 ditunjukkan pada tabel 1 dibawah ini:
No. Sistem kelistrikan Sub-Sistem BPP –TT BPP-TM BPP-TR
(Rp/kWh) (Rp/kWh) (Rp/kWh)
1 Sistem Sumatera bagian Utara Nanggroe Aceh D 1.891 2.158 2.603

Sumatera Utara 1.984 2.306
2 Sistem Sumatera bagian Selatan Sumatera Barat 565 790 1.044
Sumatera Barat-Riau Riau 1.164 1.433

Sumatera Selatan, jambi 696 869

dan Bengkulu

Lampung 667 860
3 Sistem Bangka Belitung Bangka Belitung - 2.476 2.919
4 Sistem Kalimantan Barat Kalimantan Barat 2.132 2.546 3.143
5 Sistem Kalimantan Selatan dan Kalimantan Selatan dan 1.148 1.611 1.998
Kalimantan Tengah Kalimantan Tengah
6 Sistem Kalimantan Timur Kalimantan Timur 1.732 1.965 2.260
7 Sistem Sulawesi Utara, Sulawesi Sulawesi Utara, Sulawesi 974 1.676 2.063
Tengah dan Gorontalo Tengah dan Gorontalo
8 Sistem Sulawesi Selatan, Sulawesi Selatan, 1.103 1.249 1.505
Sulawesi Barat dan Sulawesi Sulawesi Barat dan Sulawesi
Tenggara Tenggara
9 Sistem Maluku, dan Maluku Utara Maluku, dan Maluku Utara - 2.320 2.919
10 Sistem Papua Papua - 2.526 3.192
11 Sistem Nusa Tenggara Barat Nusa Tenggara Barat - 2.289 2.743
12 Sistem Nusa Tenggara Timur Nusa Tenggara Timur - 2.433 3.072
13 Sistem Jawa-Madura-Bali Bali 783 859 1.012

Jawa Timur 855 1.030

Jawa Tengah dan DI 849 1,011

Jogyakarta

Jawa Barat dan Banten 853 1.024

DKI Jakarta, Tangerang 850 1.005
Tabel 1. BPP per-sistem
Untuk penjualan listrik, pemerintah menetapkan harga penjualan listrik atau lebih umum disebut tarif dasar listrik (TDL) yang dikenakan kepada pelanggan listrik PLN. Pemerintah menetapkan pentarifan berdasarkan 5 kelompok pelanggan,yaitu domestik (rumah tangga), pemerintah, industri, bisnis dan sosial dengan total 34 jenis tarif. Tarif Dasar Listrik ditetapkan oleh pemerintah melalui keputusan Presiden berdasarkan persetujuan DPR. Tarif dasar listrik yang berlaku saat ini mengacu pada keppres tahun 2004. Di luar tarif dasar listrik, PLN menggunakan opsi tarif multiguna untuk penyesuaian harga.  Data saat ini menunjukkan, BPP rata-rata per tahun  untuk pelanggan tegangan rendah sebesar 1400 rupiah per kWh, tetapi harga jual untuk rumah tangga berdaya 900 watt (golongan R-1) hanya 600 rupiah per kWh, di sektor industri sampai 200 kVA hanya mempunyai harga jual 780 rupiah per kWh. Dengan demikian terjadi ketimpangan, defisit harga produksi dengan harga penjualan listrik. Untuk mengkompensasi hal tersebut, pemerintah menerapkan kebijakan subsidi listrik. Pada saat ini, berdasarkan kebijakan yang sudah ada, semua kelompok pelanggan dikenakan tarif yang sama, yaitu tarif yang sudah terkena subsidi. Tidak mengherankan apabila subsidi listrik dari pemerintah sangatlah besar; Pada tahun 2009 saja sebesar Rp. 60,43 triliun dialokasikan dalam APBN. Jadi besarnya subsidi listrik yang dibebankan dalam APBN akan bergantung kepada besarnya defisit antara harga produksi dan harga penjualan listrik di Indonesia, dan inilah pokok permasalahan ketenagalistrikan di Indonesia.  Beberapa hal yang menjadi penyebab permasalahan ini adalah:
1.   Ketidakmerataan jenis pembangkit listrik
Salah satu komponen perhitungan BPP adalah biaya pembangkitan, baik biaya bahan bakar maupun biaya pembelian energi listrik dari pihak swasta. Besarnya kapasitas pembangkit di tiap provinsi berbeda dan sama sekali tidak merata, dimana kapasitas terbesar ada di lingkup Jawa – Bali. Hal ini terkait kepadatan penduduk dan aktivitas yang berbeda antara tiap provinsi. Penempatkan pusat pemerintahan, industri dan perekonomian di daerah Jawa – Bali adalah merupakan penyebab dari membludaknya pembangkit yang ada di kawasan Jawa – Bali.  Pembangkit – pembangkit ini dibangun untuk menjamin ketersediaan listrik pada tiap waktu dengan kualitas yang baik. Dengan besarnya kebutuhan energi pada lingkup Jawa – Bali ini, pembangkit yang memiliki kapasitas serta kehandalan yang cukup untuk menyokong infrastruktur ketenagalistrikan adalah jenis pembangkit termal dengan bahan bakar batu bara. Pembangkit jenis ini memiliki BPP yang cukup rendah, karena ketersediaan batu bara yang melimpah dan harga bahan bakar yang murah. Masifnya kebutuhan batu bara untuk penyediaan listrik di Jawa – Bali ini mengakibatkan timpangnya pengembangan pembangkit listrik di daerah di luar Jawa – Bali. Hal ini yang menyebabkan daerah luar Jawa – Bali cenderung mempunyai BPP yang lebih besar, karena masih menggunakan pembangkit termal dengan bahan bakar diesel, yang memiliki harga yang jauh lebih mahal dari batu bara. Dengan BPP yang besar, dan dihadapkan dengan daya beli masyarakat setempat yang rendah, subsidi pemerintah untuk penyediaan listrik di daerah luar Jawa – Bali menjadi sangat besar.
2.   Penerapan TDL nasional
Dengan penggunaan tarif yang rata pada tiap daerah, masyarakat akan menanggung beban pembayaran listrik yang sama pada tiap daerah walaupun memiliki BPP yang berbeda. Oleh karena itu agar dapat menyeimbangkan biaya produksi dan penjualan, maka perlu diadakan subsidi biaya penyediaan listrik dari pemerintah ke daerah – daerah yang mengalami defisit penjualan listrik yang lalu dibebankan ke APBN. Kebutuhan tiap daerah akan listrik berbeda satu sama lain, baik dari segi kapasitas/besar energi listrik, begitu juga dengan intensitas pemakaian listrik. Perbedaannya terletak dari tingkat kemajuan daerah tersebut, yang ditandai dengan jumlah aktivitas sosial maupun aktivitas ekonomi. Daerah kota tentu akan lebih membutuhkan listrik dengan jumlah dan intensitas yang lebih besar dari daerah non-kota atau desa.
Sebagai produsen listrik dan mempunyai posisi sebagai pemain tunggal, dari segi ekonomi PLN berhak memberikan harga jual yang tinggi bagi daerah maju atau kota. Namun untuk harga jual, pemerintah justru memberlakukan TDL Nasional, sehingga tidak dapat dihindari nilai subsidi yang sebesar itu. Oleh sebab itu muncullah wacana tarif regional, tarif yang hanya berlaku dalam suatu wilayah daerah tertentu. Dalam beberapa tahun belakang, beberapa daerah sudah memberlakukan tarif regional, seperti Batam dan Tarakan.
3.   Pola pemberian Subsidi tidak tepat sasaran
Permasalahan subsidi yang sering dihadapi adalah sasaran subsidi yang tidak jelas, pemberian subsidi yang sering tidak tepat sasaran, besaran subsidi yang disamaratakan untuk semua konsumen listrik dan semua daerah, dan kemudian ditambah dengan kurangnya sosialisasi kepada masyarakat. Besarnya subsidi bisa dikurangi bila tarif yang berlaku di suatu kawasan lebih tinggi dari harga jual normal rata-rata. Usaha ini telah dilakukan oleh PLN dengan penetapan tarif listrik yang lebih besar untuk kalangan elite. Cara peng-cluster-an jenis pelanggan ini belum diberlakukan dalam mekanisme pemberian subsidi listrik.
4.   Perilaku konsumsi listrik yang boros dan tidak efisien
Perilaku boros ini biasanya dilakukan oleh kalangan konsumen rumah tangga, baik sosial maupun pemerintah.  Kebiasaan – kebiasaan seperti berhemat dalam pemakaian perabotan listrik, membangun infrastruktur rumah yang tidak minim cahaya, dan lain sebagainya, harus terus digalakkan. Kebiasaan boros ini bisa jadi disebabkan karena rendahnya biaya listrik yang mereka tanggung dibandingkan besarnya pendapatan konsumen tersebut. Contoh, bagi pelanggan golongan 450 VA, rata – rata mereka hanya perlu membayar Rp 30 ribuan dalam satu bulan pemakaian akibat diterapkannya subsidi listrik. Tentu perilaku boros energi ini harus segera dikurangi. Rugi-rugi atau susut sistem ketenagalistrikan saat ini mencapai 10%. Susut ini secara langsung atau tidak langsung berperan dalam berkurangnya ketersediaan listrik, rendahnya rasio elektrifikasi Indonesia, membesarnya biaya operasional untuk mengkompensasi susut, dan tentu saja menambah beban bagi PLN dan negara. Saat ini usaha yang telah dilakukan PLN adalah dengan merehabilitasi peralatan ketenagalistrikan dan memperbaharui jaringan kelistrikan agar susut tersebut dapat dikurangi.
Pertumbuhan Penduduk = Pertumbuhan Ekonomi = Kenaikan Konsumsi Energi Listrik = Tantangan
Pertumbuhan penduduk akan diikuti pertumbuhan konsumsi energi listrik. Pertumbuhan konsumsi energi listrik ini haruslah diikuti dengan produktivitas sehingga bisa menumbuhkan perekonomian negara atau daerah. Tantangan ini harus dihadapi dengan sedemikian rupa. Dengan disahkannya UU Ketenagalistrikan no. 20 tahun 2002 pada bulan Agustus 2009, pemerintah daerah sesuai dengan aturan otonomi daerah mempunyai wewenang dalam mengolah potensi daerah masingmasing terutama dalam pelayanan penyediaan pasokan listrik di daerah masing-masing. UU ini sempat mendapat perbaikan setelah tahun 2005 ditolak Mahkamah Konstitusi karena dinilai terlalu menerapkan mekanisme pasar. Dengan UU baru hasil revisi ini, swasta harus bekerja sama dengan PLN atau masuk ke tempat yang belum dilayani PLN bila ingin berusaha dalam usaha ketenagalistrikan, dan daerah mempunyai wewenang untuk mencukupi kebutuhan listriknya secara mandiri. Peran serta Pemda, Pemprov, Pemkab sampai setingkat Pemkot diperlukan untuk mencapainya. Dengan adanya UU ini diharapkan subsidi listrik dari pemerintah pusat bisa turun karena pemerintah pusat akan dibantu pemerintah daerah dalam pengucuran subsidi listrik. Dengan demikian subsidi ini bisa dialihkan ke pelayanan masyarakat lain seperti subsidi pendidikan dan kesehatan. Hal ini penting mengingat masalah pendidikan dan kesehatan lebih diperlukan oleh masyarakat mengingat keduanya sangat penting bagi kemajuan kualitas hidup manusia Indonesia.
Menjalankan UU baru ini tidaklah mudah. Ketersediaan ini sebaiknya bisa merata, dalam arti tiap daerah mempunyai kesempatan yang sama dalam memperoleh listrik. Untuk itu diperlukan kesiapan masing-masing daerah untuk menjalankan ini. Salah satu ukuran kesiapan suatu daerah ditentukan oleh kondisi daerah, baik dari segi ekonomi, keuangan, politik dan sebagainya. Disisi lain, kesiapan dan kemampuan masyarakat juga memainkan peranan penting. Permasalahan dan tantangan ketenagalistrikan saat ini membutuhkan solusi yang tepat. Ada beberapa solusi yang bisa ditawarkan, yaitu :
1.   Investasi Pembangkit terbaharukan
Persebaran pembangkit yang tidak merata seperti yang sudah dibahas turut andil dalam tingginya BPP yang membuat harus adanya subsidi listrik. Untuk menguranginya, perlu adanya usaha pembangunan pembangkit di daerah – daerah yang masih minim pembangkit. Indonesia dikarunia dengan potensi – potensi alam yang banyak, sehingga pemanfaatan pembangkit sumber energi baru dan terbarukan adalah salah satu solusinya.
Berdasarkan definisi yang dituturkan dalam Kebijakan Energi Nasional, energi terbarukan adalah sumber energi yang dihasilkan dari sumber daya energi yang secara alamiah tidak akan habis dan dan dapat berkelanjutan jika dikelola dengan baik. Pembangkit yang memanfaatkan sumber energi terbarukan atau disebut juga sebagai pembangkit non-konvensional yang bersumber dari air, angin, panas matahari, biofuel, dan panas bumi memerlukan biaya investasi awal yang mahal dibandingkan pembangkit konvensional untuk setiap energi yang bisa dibangkitkan. Oleh karena itu, kebanyakan pembangkit non-konvensional hanya dibangun untuk menghasilkan daya yang relatif kecil dan hanya untuk pemenuhan kebutuhan listrik bagi suatu wilayah kecil.
Tiap daerah mempunyai potensi masing-masing dalam dikembangkannya pembangkit bersumber energi terbarukan. Yang menjadi masalah adalah beberapa daerah berpotensi tersebut masih memiliki kebutuhan listrik yang tidak terlalu besar. Oleh karena itu, daerah-daerah tersebut tidak mempunyai posisi dan daya tawar lebih bagi suatu pelaku usaha dan investor untuk mendapatkan harga jual yang tinggi dan akan butuh waktu lama untuk menyeimbangkan biaya investasi yang sudah ditanam. Untuk itu perlu usaha dari tiap daerah agar dapat menarik para pelaku usaha dan investor untuk berinvestasi melalui pembangkit bersumber energi terbarukan ini. Salah satu cara adalah dengan pemberian dana dari Pemda setempat sebagai bantuan untuk membiayai investasi pembangkit terbaharukan tersebut. Untuk memberikan bantuan dana ini, Pemda setempat tentunya akan membutuhkan biaya yang sangat besar, alokasi biaya ini dapat diajukan dalam RAPBD masing-masing daerah tersebut. Dalam RAPBD tersebut, anggaran dana bantuan  investasi akan dimasukkan sebagai salah satu biaya pembangunan daerah. Dengan cara ini diharapkan agar para pelaku usaha ketenagalistrikan lebih tertarik dalam melakukan investasi. Namun bantuan dana ini harus berkurang seiring makin tumbuhnya kegiatan perekenomian daerah tersebut sehingga daya beli masyarakat akan bertambah. Dengan adanya bantuan dana dari masing-masing Pemda tersebut, maka diharapkan pembangunan pembangkit bersumber energi terbarukan akan dapat berjalan dengan lancar, sehingga konsumen akan dapat memperoleh tambahan kapasitas daya listrik. Dengan bertambahnya kapasitas daya listrik tersebut maka anggaran subsidi listrik nasional bagi konsumen tentunya akan dapat dikurangi, khususnya karena subsidi bernilai besar yang selama ini diakibatkan oleh mahalnya harga sumber energi fosil.
Potensi sumber energi terbarukan terbesar yang dimiliki oleh Indonesia adalah dari air, panas bumi, dan surya. Potensi pembangkit listrik tenaga air (PLTA) yang dimiliki oleh Indonesia adalah sebesar 70.000 MW dan saat ini potensi tersebut baru dimanfaatkan sebesar 3.529 MW atau sekitar 6% dari potensi keseluruhannya, dengan potensi PLTA terbesar, berdasarkan RUKN 2004, adalah terletak di Papua yaitu sebesar 24.947 MW. Hasil studi ini tentunya dapat menjadi peluang dan tantangan tersendiri, karena dibalik rasio elektrifikasinya yang masih sangat rendah sekarang ini, Papua ternyata menyimpan potensi yang begitu besar dari PLTA. Opini yang selama ini terbentuk oleh masyarakat tentang citra negatif Papua dapat dengan perlahan menghilang seiring adanya perkembangan di bidang sarana dan prasarana ketenagalistrikan yang akhirnya berujung pada kemajuan di bidang ekonomi. Selain dari air, Indonesia memiliki juga memiliki cadangan energi panas bumi sebesar 27.000 MW  atau setara dengan 40% dari total potensi dunia. Saat ini, potensi panas bumi di Indonesia dapat dimanfaatkan untuk membangkitkan listrik hingga 16.000 MW, sementara yang telah beroperasi baru menghasilkan 992 MW. Energi panas bumi ini merupakan sumber energi yang ramah lingkungan dan sangat berpotensi untuk dikembangkan di Indonesia, terlebih lagi dengan adanya fakta bahwa Indonesia menampung 40% dari total potensi dunia, tentu maksimalisasi pembangkit bersumber energi panas bumi di Indonesia ini akan sangat diantisipasi.
Mengingat kondisi iklim Indonesia yang merupakan negara beriklim tropis, maka sudah tentu keuntungan yang dapat dipetik dari kondisi iklim tersebut adalah tersedianya sinar matahari yang merata dan dapat dirasakan oleh hampir seluruh kepulauan Nusantara selama hampir sepanjang tahun. Ini merupakan sumber energi yang sangat potensial di masa depan apabila teknologi panel surya sudah mampu memberikan efisiensi yang tinggi bila dibandingkan terhadap harga dari material penyusunnya.
2.   Koordinasi BUMD dengan PLN mengantisipasi Tarif Regional
Peningkatan kebutuhan listrik yang tidak diimbangi dengan peningkatan kapasitas energi yang dapat dibangkitkan merupakan masalah besar yang selama ini menjadi kendala utama dari kualitas penyediaan energi di Indonesia. Perencanaan proyek 10000 MW yang diharapkan mampu mengatasi masalah ketersediaan listrik bukanlah satu-satunya solusi yang dibutuhkan untuk ketercapaiannya kemandirian tiap daerah dari segi ketenagalistrikan. Hal ini disebabkan karena daya sebanyak 10000 MW tersebut hanya masih terhitung ‘hampir cukup’ apabila kita memperhitungkan kekurangan daya sebesar 32.8% pada tahun 2010, yang membutuhkan total sekitar 20000 MW. Oleh karena itu, untuk mencapai rasio elektrifikasi 100%, masih dibutuhkan penyediaan daya yang cukup besar, terutama di luar pulau Jawa.
Terbukanya peluang pihak – pihak swasta (non PLN) untuk berkontribusi pada penyediaan listrik di Indonesia merupakan suatu solusi yang mampu mengatasi masalah dari terlalu cepatnya kenaikan tingkat kebutuhan listrik. Pemanfaatan potensi – potensi alam seharusnya dapat digarap dengan serius oleh Pemda setempat, dengan bekerja sama dengan investor untuk membangun infrastruktur penyediaan listrik. Peranan swasta ini tentunya tidak akan menyalahi peran dasar dari negara sebagai pihak yang paling bertanggung jawab untuk penyediaan energi bagi masyarakat. Hal ini disebabkan karena walaupun mungkin dari sisi pembangkitan listrik dikelola oleh swasta, namun dari sisi transmisi dan distribusi sepenuhnya masih diatur oleh PLN, sehingga PLN masih memiliki peran vital dalam perannya sebagai badan yang bertanggung jawab atas kesejahteraan rakyat. Skenario penyediaan pasokan listrik seperti ini memungkinkan untuk berlakunya tarif regional.
Tarif regional ini menjadikan tarif jual listrik tiap daerah akan berbeda – beda, bisa lebih mahal dari TDL saat ini atau bahkan lebih kecil. Melihat kemungkinan berlakunya tarif regional yang lebih besar dari TDL saat ini (untuk mengurangi defisit), koordinasi BUMD sebagai pelaku usaha baru dan PLN harus terjalin dengan sinergis. Ini dikarenakan transaksi – transaksi yang akan mereka lakukan mempunyai pengaruh sangat besar dalam penentuan tarif. Koordinasi yang sinergi bertujuan untuk tetap menjamin keterjangkauan harga listrik bagi masyarakat menengah ke bawah. Selain koordinasi antar pelaku usaha ketenagalistrikan, koordinasi dengan Pemerintah Daerah dan DPRD setempat juga dibutuhkan. Hal ini mengingat pemerintah daerah dan DPRD mempunyai kekuasaan dalam menentukan kebijakan – kebijakan mengenai ketenagalistrikan untuk daerah mereka.
3.   Pemberian Subsidi Listrik Tepat Sasaran
Berdasarkan kelemahan – kelemahan pola subsidi yang dijelaskan sebelumnya,  dan adanya kewenangan daerah dalam kebijakan perundang – undangan mengenai ketenagalistrikan, maka apabila pemerintah daerah akan dilibatkan dalam memberikan subsidi bersama pemerintah pusat, subsidi hendaknya mempertimbangkan beberapa hal, yakni a) golongan konsumen mana yang akan diberi subsidi, b) berapa batasan pemakaian kWh perbulan yang akan disubsidi, c) berapa besaran subsidi yang akan diberikan per kWh, dan d) bagaimana mekanisme subsidi tersebut akan disalurkan kepada konsumen pemakai listrik.
Tentunya pertimbangan – pertimbangan tersebut sebaiknya disesuaikan dengan kondisi ekonomi daerah tersebut. Kondisi ekonomi daerah bisa diukur dari kapasitas fiskal daerah, yaitu perhitungan penerimaan daerah dengan jumlah penduduk di daerah tersebut dan perhitungan pendapatan per kapita. Penyesuaian ini menjadi hal yang penting untuk dikaji oleh Pemda sebelum menerapkan aturan mengenai subsidi agar tidak terlalu memberatkan Pemerintah Pusat dan Pemda maupun konsumen listrik. Disinilah terjadi pengelompokkan pelanggan PLN diterapkan. Pengelompokkan berdasarkan kapasitas fiskal suatu daerah dan pendapatan perkapita.
Daerah dengan kapasitas fiskal rendah akan mendapatkan prioritas lebih dahulu dibanding daerah dengan kapasitas fiskal tinggi. Sedangkan dalam kasus suatu daerah, dimana terdapat pendapatan perkapita yang mempunyai rata – rata yang rendah, akan mendapatkan prioritas terlebih dahulu dibandingkan dengan pendapatan perkapita rata – rata yang tinggi. Kondisi demikian menjadikan pemberian subsidi listrik tidak akan merata namun akan tepat sasaran atau dinamakan subsidi silang. Dalam mewujudkan hal ini, perlu suatu komitmen yang tinggi dari pemerintah daerah untuk mendata kondisi daerah dan masyarakatnya masing-masing. Kemudian koordinasi yang baik dengan pemerintah pusat dalam pembagian porsi subsidi listrik akan menjadikan pola pemberian subsidi listrik menjadi tepat sasaran. Misalkan, untuk subsidi perumahan dibebankan kepada Pemda, sedangkan subsidi untuk industri dibebankan kepada Pempus.
4.   Hemat Energi
Penghematan energi listrik merupakan solusi yang klasik, namun wajib dilakukan. Rendahnya tarif listrik seharusnya tidaklah menjadi suatu alasan untuk tidak mempertimbangkan pemakaian perangkat elektronik di rumah maupun kawasan industri. Penghematan energi, apabila dilakukan secara menyeluruh di setiap kawasan, tentunya akan menurunkan beban dengan signifikan. Hal ini akan berdampak banyak terhadap besarnya subsidi yang diberikan. Kebutuhan listrik yang terus meningkat tidak sebanding dengan kecepatan pembangunan infrastruktur yang mendukung penyediaan energi. Penghematan energi tentunya akan mengurangi jumlah permintaan yang muncul, sehingga akan memperbaiki pola peningkatan kebutuhan listrik, dan tentunya akan meningkatkan kualitas listrik yang disediakan karena infrastruktur masih dapat menunjang penyediaan energi dengan baik.
Penghematan energi merupakan salah satu jalan terbaik untuk peningkatan subsidi listrik. Selain mengurangi biaya yang harus disubsidi untuk penyediaan bahan bakar yang diperlukan untuk menghasilkan listrik, penghematan energi juga dapat mengurangi biaya yang harus disediakan untuk pemeliharaan infrastruktur. Peningkatan permintaan energi yang jauh lebih besar daripada kemampuan penyediaan tentunya akan sangat membebani infrastruktur yang ada. Pembebanan yang terlalu besar ini tentunya akan mengurangi lifespan dari beberapa komponen yang penting, sehingga terkadang  terdapat perangkat yang rusak dan harus diganti secara berkala, dan tentunya ini membutuhkan biaya yang besar.
Upaya – upaya yang perlu dilakukan untuk menghemat energi bisa ditinjau dari dua aspek: aspek elektronik dan perilaku. Aspek elektronik merupakan aspek yang melingkupi bagaimana perangkat elektronik rumah tangga dapat bekerja optimal dengan kebutuhan listrik seminim mungkin. Beberapa inovasi seperti AC dengan teknologi inverter, lampu hemat energi, sistem pompa yang dapat diatur, merupakan beberapa dari alat-alat elektronik hemat energi yang bisa didapatkan di pasaran. Aspek kedua merupakan aspek yang sangat berhubungan dengan kebiasaan yang kita lakukan di rumah. Penggunaan AC yang berlebihan, TV yang menyala tapi tidak ditonton, atau bahkan kebiasaan menutup keran air tidak rapat sehingga pompa terus menyala merupakan kebiasaan – kebiasaan yang sangat boros energi. Mungkin dampaknya tidak besar pada tiap rumah, tapi apabila diterapkan di empat puluh juta rumah, tentunya dampaknya sangat luar biasa.
Solusi – solusi di atas tentunya merupakan solusi yang cukup kompleks, karena semuanya merupakan solusi berjenjang yang harus dilaksanakan secara paralel dan ditinjau dengan lebih seksama. Tercapainya kesejahteraan rakyat dalam sisi ketenagalistrikan hanya dapat terjadi ketika semua elemen masyarakat memiliki pemahaman yang sama dan memiliki kemauan yang tinggi dalam pembangunan dan pemeliharaan infrastruktur dan lingkungan sekitar. Solusi seperti pembangunan pembangkit bertenaga nuklir sepintas dirasakan sangat mampu mengatasi krisis energi di Indonesia, namun karena tidak terdapat pemahaman yang sama antara pihak penyedia listrik dan pihak pemerhati lingkungan, maka sampai sekarang isu pembangunan pembangkit tenaga nuklir masih berada dalam polemik yang cukup berkepanjangan. Rakyat sebagai konsumen juga harus memiliki kesadaran bahwa sesungguhnya listrik itu tidak sepenuhnya mudah dan murah, sehingga penggunaan listrik maupun pengelolaannya juga harus diperhatikan sungguh – sungguh. Sekali lagi, harus terdapat kolaborasi yang efisien dan teratur dari semua pihak, baik dari sisi masyarakat sebagai konsumen, sisi industri sebagai produsen, maupun pemerintah sebagai pihak yang mengatur regulasi ketenagalistrikan di Indonesia.
Subsidi listrik mutlak masih diperlukan untuk menutupi kekurangan – kekurangan yang ada saat ini dan beberapa tahun mendatang. Namun seiring dengan berjalannya solusi – solusi yang ditawarkan, subsidi listrik perlahan – perlahan akan menurun. Penurunan ini akan terjadi seiring dengan meningkatnya pertumbuhan ekonomi suatu daerah. Hal ini terjadi karena terjaminnya pasokan listrik yang akan menunjang pertumbuhan ekonomi daerah sesuai dengan potensi daerah tersebut. Usaha – usaha ini harus didukung dan dilaksanakan secara bersinergi baik oleh pemerintah, PLN dan kalangan konsumen listrik. Pemerintah, baik pusat dan daerah, dengan PLN harus bisa bersinergi untuk menghasilkan kebijakan – kebijakan menguntungkan bagi segala pihak. Begitu juga dengan konsumen listrik, diharapkan bisa berperilaku hemat dalam mengkonsumsi energi listrik. Dengan solusi – solusi ini, diharapkan listrik akan menjadi tulang punggung pemberdayaan perekonomian dan peningkatan kesejahteraan rakyat, sehingga kita akan terus optimis Indonesia akan mencapai rasio elektrifikasi yang sempurna dan menjadi negara dengan pertumbuhan ekonomi terbaik di dunia.

<diajukan untuk LOMBA KARYA TULIS KETENAGALISTRIK 2009>

0 komentar:

Posting Komentar